Laman

Minggu, 30 April 2017

CINTAKU KEPADA ALLAH

NAHWU



Dahulu orang-orang arab di jaman kejahiliyahan mereka, mereka tinggal disemenanjung jazirah arab dan tidak bercampur dengan orang-orang asing. Dan hal itu membuat mereka semakin fasih dan jauh dari kesalahan dalam berbahasa.
Lalu muncul islam, dan orang-orang arab pun mulai  meninggalkan kejahiliyahan mereka dan  beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Hingga wafat-lah Rasulullah dan kekhalifahan di pegang oleh Abu Bakar, lalu Umar. Dan pada zaman Umar, perluasan islam semakin membentang sampai pada penaklukan kerajaan persia dan romawi, menyebabkan orang-orang arab berinteraksi dengan orang-orang asing, budak-budak pun banyak berdatangan dan mendiami jazirah arab lalu kefasihan bahasa arab mulai terkikis. Dan diantara kesalahan-kesalahan-kesalahan tersebut adalah :

A. Kesalahan yang terjadi pada masa Umar bin Khaththab
Ada tiga kesalahan pada zaman umar dan dari sini awal dimulainya ada perhatian untuk membenahi kesalahan dalam ilmu nahwu.
Kesalahan pertama
Sekertaris Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada umar atas nama Abu Musa al-Asy-ari, demikian secara lengkapnya.
“Sebagaimana telah diceritakan bahwasannya sekretaris Abu Musa al-Asy’ari telah menulis sabuah surat kepada Umar bin Khaththab dan dia berkata didalam tulisannya, ((‘Min Abu Musa al-Asy’ariy...)). Tatkala Umar radhiyallahu ‘anhu membacanya Umar mengirim surat kepada Abu Musa ((Pukul-lah sekretarismu dengan cambukan))”.[tahdziib syarh ibni aqil li alfiyah ibni maalik cetakan ketiga jilid 1 hal.10].
Kalimat diatas seharusnya : “Min Abi Musa al-Asy’ari....”(Artinya : dari Abi Musa al-Asy’ari). Ternyata boleh dihukum cambuk orang yang keliru dalam berbahasaarab.

Kesalahan Kedua
Pada masa Umar radhiyallahu ‘anhu pula terjadi kesalahan yang lain. Ketika Umar melewati suatu kaum, yang tentunya mereka dari tentara-tentara kaum muslimin. Ketika itu kaum tersebut sedang berlatih memanah, namun bidikan mereka selalu meleset. Seolah-olah Umar meremehkan mereka. Secara lengkapnya sebagaimana diceritakan :
“Umar suatu hari melewati suatu kaum yang sedang belajar memanah akan tetapi tidak dikagumi oleh Umar lemparan panah mereka. Mereka mengabarkan kepada Umar dengan berkata: ((‘Innaa qaumun muta’allimiin’)). Hal itu mengagetkan Umar dan berkata: ((‘Demi Allah betul-betul kesalahan kalian pada lisan kalian lebih berat bagiku daripada kesalahan kalian dalam memanah!!’)).[Tahdziib syarh ibni aqil li alfiyah ibni maalik cetakan ketiga jilid 1 hal.11].
Kalimat diatas seharusnya : ‘Innaa qaumun muta’allimuun..’(Artinya : sesungguhnya kami kaum yang masih belajar).
Kesalahan ketiga
Kisah kesalahan ketiga ini yang paling parah, yaitu kisah datangnya seorang badui kepada Umar mengadukan tentang bacaan surat at-taubah ayat 3 yang dia pelajari dari seorang guru atau ustadz.
Disebutkan dalam sebuah kitab yang isinya kira-kira seperti ini :
“Datang kepada Umar ibnil Khaththab seorang laki-laki yang sedang membaca; ((‘Innallaaha bariiun minal musyrikiina wa rasuulihi..’)), dengan men-jar kan (mengkasrohkan harokat huruf lam pada kata rasuulihi), maka dia bertanya kepada Umar dan berkata : ‘Apakah demikian engkau membacanya di kota madinah?’ Maka Umar berkata : ‘Bukan seperti itu, hanya saja dia (dibaca)warasuuluhu, dengan mendhommah-kan laam, karena Allah tidak akan berlepas diri kepada rasul-Nya. Kemudian Umar memerintahkan agar tidak mengajarkan ilmu (al-qur-an) kecuali orang yang berilmu tentang bahasa arab. [I’raabul qur-anil kariim wa bayaanuhu, ta’liif Muhiiyuddiin ad-Darwiis, Daar ibni katsiir cetakan ketiga, jilid 4 halaman : 54]
“Dan Umar memanggil Abul Aswad ad-Duali dan memerintahkannya untuk meletakkan (dasar-dasar) ilmu nahwu. Yang dikehendaki dari riwayat ini bahwa ilmu ini (nahwu) tidak terkenal sebelum Abul Aswad, dan sungguh manusia sebelumnya mengucapkan bahwa dahulu tidak ada fitrah ini (kebiasaan mempelajari ilmu nahwu) dan ilmu nahwu ini akhirnya dimaklumi.[I’raabul qur-anil kariim wa bayaanuhu, ta’liif Muhiiyuddiin ad-Darwiis, Daar ibni katsiir cetakan ketiga, jilid 4 halaman : 54].
Yang pertama mempopulerkan ilmu nahwu adalah Abul Aswad ad-Duali sebagaimana yang disebutkan yang bila diterjemahkan secara bebas:
“Sungguh menjadi masyhur bahwa Abul Aswad ad-Duali dia adalah orang yang pertama meletakkan ilmu nahwu, mereka berkata : ‘Bahwasannya pada suatu hari dia mendengar anak perempuannya salah perkataannya dan dia pergi kepada Ali bin Abi Thalib, maka dia berkata kepada Ali : ‘Tersebar kesalahan pada anak-anak kami dan saya takut akan hilang bahasa arab (yang fasih), berkata imam (Ali bin Abu Thalib) kepada Abul Aswad : ‘Tulislah dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang bahwa al-kalaam ada tiga : Isim, Fiil, Huruf, dan isim itu seperti ini dan fiil itu seperti ini dan huruf itu seperti ini. Isim-isim pun terbagi tiga : Dhahir, Dhomir, Mubham, dan faail marfu’ selamanya, mafulun bihi manshub selamanya, dan mudhof ilaihi majrur selamanya, maka fahamilah dan telitilah, dan apa yang muncul darimu berupa tambahan maka kumpulkanlah ia. [I’raabul qur-anil kariim wa bayaanuhu, ta’liif Muhiiyuddiin ad-Darwiis, Daar ibni katsiir cetakan ketiga, jilid 4 halaman : 54].
Wallahu a’lam. Bersambung insya Allah

PERJALANAN ILMU NAHWU



Dahulu orang-orang arab di jaman kejahiliyahan mereka, mereka tinggal disemenanjung jazirah arab dan tidak bercampur dengan orang-orang asing. Dan hal itu membuat mereka semakin fasih dan jauh dari kesalahan dalam berbahasa.
Lalu muncul islam, dan orang-orang arab pun mulai  meninggalkan kejahiliyahan mereka dan  beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Hingga wafat-lah Rasulullah dan kekhalifahan di pegang oleh Abu Bakar, lalu Umar. Dan pada zaman Umar, perluasan islam semakin membentang sampai pada penaklukan kerajaan persia dan romawi, menyebabkan orang-orang arab berinteraksi dengan orang-orang asing, budak-budak pun banyak berdatangan dan mendiami jazirah arab lalu kefasihan bahasa arab mulai terkikis. Dan diantara kesalahan-kesalahan-kesalahan tersebut adalah :

A. Kesalahan yang terjadi pada masa Umar bin Khaththab
Ada tiga kesalahan pada zaman umar dan dari sini awal dimulainya ada perhatian untuk membenahi kesalahan dalam ilmu nahwu. 
 
Kesalahan pertama
Sekertaris Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada umar atas nama Abu Musa al-Asy-ari, demikian secara lengkapnya.  
“Sebagaimana telah diceritakan bahwasannya sekretaris Abu Musa al-Asy’ari telah menulis sabuah surat kepada Umar bin Khaththab dan dia berkata didalam tulisannya, ((‘Min Abu Musa al-Asy’ariy...)). Tatkala Umar radhiyallahu ‘anhu membacanya Umar mengirim surat kepada Abu Musa ((Pukul-lah sekretarismu dengan cambukan))”.[tahdziib syarh ibni aqil li alfiyah ibni maalik cetakan ketiga jilid 1 hal.10].

Kalimat diatas seharusnya : “Min Abi Musa al-Asy’ari....”(Artinya : dari Abi Musa al-Asy’ari). Ternyata boleh dihukum cambuk orang yang keliru dalam berbahasaarab.


Kesalahan Kedua
Pada masa Umar radhiyallahu ‘anhu pula terjadi kesalahan yang lain. Ketika Umar melewati suatu kaum, yang tentunya mereka dari tentara-tentara kaum muslimin. Ketika itu kaum tersebut sedang berlatih memanah, namun bidikan mereka selalu meleset. Seolah-olah Umar meremehkan mereka. Secara lengkapnya sebagaimana diceritakan :

“Umar suatu hari melewati suatu kaum yang sedang belajar memanah akan tetapi tidak dikagumi oleh Umar lemparan panah mereka. Mereka mengabarkan kepada Umar dengan berkata: ((‘Innaa qaumun muta’allimiin’)). Hal itu mengagetkan Umar dan berkata: ((‘Demi Allah betul-betul kesalahan kalian pada lisan kalian lebih berat bagiku daripada kesalahan kalian dalam memanah!!’)).[Tahdziib syarh ibni aqil li alfiyah ibni maalik cetakan ketiga jilid 1 hal.11].

Kalimat diatas seharusnya : ‘Innaa qaumun muta’allimuun..’(Artinya : sesungguhnya kami kaum yang masih belajar). 

Kesalahan ketiga 
Kisah kesalahan ketiga ini yang paling parah, yaitu kisah datangnya seorang badui kepada Umar mengadukan tentang bacaan surat at-taubah ayat 3 yang dia pelajari dari seorang guru atau ustadz.
Disebutkan dalam sebuah kitab yang isinya kira-kira seperti ini : 

“Datang kepada Umar ibnil Khaththab seorang laki-laki yang sedang membaca; ((‘Innallaaha bariiun minal musyrikiina wa rasuulihi..’)), dengan men-jar kan (mengkasrohkan harokat huruf lam pada kata rasuulihi), maka dia bertanya kepada Umar dan berkata : ‘Apakah demikian engkau membacanya di kota madinah?’ Maka Umar berkata : ‘Bukan seperti itu, hanya saja dia (dibaca)warasuuluhu, dengan mendhommah-kan laam, karena Allah tidak akan berlepas diri kepada rasul-Nya. Kemudian Umar memerintahkan agar tidak mengajarkan ilmu (al-qur-an) kecuali orang yang berilmu tentang bahasa arab. [I’raabul qur-anil kariim wa bayaanuhu, ta’liif Muhiiyuddiin ad-Darwiis, Daar ibni katsiir cetakan ketiga, jilid 4 halaman : 54]

“Dan Umar memanggil Abul Aswad ad-Duali dan memerintahkannya untuk meletakkan (dasar-dasar) ilmu nahwu. Yang dikehendaki dari riwayat ini bahwa ilmu ini (nahwu) tidak terkenal sebelum Abul Aswad, dan sungguh manusia sebelumnya mengucapkan bahwa dahulu tidak ada fitrah ini (kebiasaan mempelajari ilmu nahwu) dan ilmu nahwu ini akhirnya dimaklumi.[I’raabul qur-anil kariim wa bayaanuhu, ta’liif Muhiiyuddiin ad-Darwiis, Daar ibni katsiir cetakan ketiga, jilid 4 halaman : 54].
Yang pertama mempopulerkan ilmu nahwu adalah Abul Aswad ad-Duali sebagaimana yang disebutkan yang bila diterjemahkan secara bebas: 

“Sungguh menjadi masyhur bahwa Abul Aswad ad-Duali dia adalah orang yang pertama meletakkan ilmu nahwu, mereka berkata : ‘Bahwasannya pada suatu hari dia mendengar anak perempuannya salah perkataannya dan dia pergi kepada Ali bin Abi Thalib, maka dia berkata kepada Ali : ‘Tersebar kesalahan pada anak-anak kami dan saya takut akan hilang bahasa arab (yang fasih), berkata imam (Ali bin Abu Thalib) kepada Abul Aswad : ‘Tulislah dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang bahwa al-kalaam ada tiga : Isim, Fiil, Huruf, dan isim itu seperti ini dan fiil itu seperti ini dan huruf itu seperti ini. Isim-isim pun terbagi tiga : Dhahir, Dhomir, Mubham, dan faail marfu’ selamanya, mafulun bihi manshub selamanya, dan mudhof ilaihi majrur selamanya, maka fahamilah dan telitilah, dan apa yang muncul darimu berupa tambahan maka kumpulkanlah ia. [I’raabul qur-anil kariim wa bayaanuhu, ta’liif Muhiiyuddiin ad-Darwiis, Daar ibni katsiir cetakan ketiga, jilid 4 halaman : 54].

 Wallahu a’lam. Bersambung insya Allah



Selasa, 21 Oktober 2014

BEBERAPA NAMA SURAT AL-FATIHAH

               Penulis : Abu 'Aisyah (Erwin Gunawan)


          Surat al-Fatihah adalah surat yang sangat agung. Dalam surat al-Fatihah terkandung 3 jenis tauhid, Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa sifat.

          Surat al-Fatihah juga memiliki banyak nama. Nama-nama surat al-Fatihah antara lain disebutkan dalam kutaib Ba'dhu Fawaaida Suratil Faatihah dan perkataan para salaf. Diantara nama-nama al-Fatihah adalah : 

a. Al-Fatihah
b. Ats-Tsaba'ul Matsaani (tujuh ayat yang terulang-ulang)
c. Ummul Qur'an (induk al-Qur'an)
d. Ummul Kitaab (induk Kitab)
e. Ash-Shalah (shalat)
f. Al-Kaafiyatu (jampi-jampi) atau dinamakan juga Ar-Ruqyatu (Rukiyah)
g. Al-Qur'an al Adziim (al Qur'an yang mulia)
h. Al-Hamdu (pujian)
i. Asy-Syifaa' (penyembuh)
j. Asaasul Qur'aan (asas al Qur'an)
k. Al-Waaqiah (yang menjaga)

          Penjelasan dari poin-poin diatas, insya Allah akan kami ambil dari faedah-faedah kajian tafsir al-Fatihah yang pernah kami ikuti dan pelajari dengan berbagai keterbatasan ilmu yang ada pada kami.  

a. Al-Fatihah
          Berkata Syaikh Shaleh Fauzan dalam penjelasan Ba'dhu Fawaaida Suratil Faatihah, kitab yang ditulis oleh Syaikh Muhammad at-Tamimy. Beliau mengatakan (dengan terjemahan babas), "Ini adalah risalah yang menunjukkan secara khusus faedah-faedah surat al-Fatihah, ini surat yang sangat agung, dinamakan ia dengan al-Faatihah, dikarenakan al-Fatihah dibuka dengannya al-Mushaf yang mulia, dan al Fatihah adalah awal surat didalam al-Qur'an." [Syarhu Ba'du Fawaaida Suuratil Faatihah, hal : 5]

          Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir surat al-Fatihah (dengan terjemahan bebas dan kutipan-kutipan selanjutnya juga akan diterjemahkan secara  bebas) mengatakan, "Dikatakan bagi al-Fatihah adalah yang membuka, yaitu yang membuka penulisan al Kitab dan dengannya kamu memulai bacaan didalam shalat-shalat..." [Tafsir Ibnu Kasir surat al-Fatihah, cetakan Dar al-Katab al-Ilmiyyah tahun 1429 H, hal 13]


b. Ats-Tsaba'ul Matsaani (tujuh ayat yang terulang-ulang)

          Berkata Syaikh Shalih Fauzan dalam syarhnya juga, "Al-fatihah dinamakan dengan tujuh yang terulang-ulang, dikarenakan al-Fatihah ada tujuh ayat. Allah Ta'ala berfirman :

"Sesungguhnya kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-qur'an yang agung." (QS.Al-Hijr : 87).

          Dan al-Fatihah adalah tujuh ayat yang terulang-ulang. Dan dikatakan (pula) : Dinamakan al-Fatihah dengan al-Matsaani, dikarenakan dia diulang-ulang bacaannya pada setiap rakaat." [Syarhu Ba'du Fawaaida Suuratil Faatihah, hal : 6]


c. Ummul Qur'an (induk al-Qur'an)

          Disebutkan juga bahwa, "al-Fatihah dinamakan Ummul Qur'an, dikarenakan induk dari sesuatu : (yaitu) pokok yang kembali kepadanya sesuatu, al-Qur'an itu kembali dalam maknanya pada apa yang dikandung surat ini (al-Fatihah)." [Syarhu Ba'du Fawaaida Suuratil Faatihah, hal : 6]

          Berkata Ibnu Katsir, "Berkata al Hasan : 'Ayat yang muhkamat dia adalah Ummul Kitaab. Dan ada yang menyebutkannya juga, dikatakan bagi al-Fatihah sebagai ummul Qur'an. Dan sungguh telah tetap didalam shahih  At-Tirmidzi dan dia menshahihkannya dari Abu Hurairah berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : (('Alhamdulillaahirabbil 'alaamiin adalah Ummul Qur'an dan Ummul Kitaab dan tujuh yang terulang-ulang dan al-Qur'an yang mulia'))." [Tafsir Ibnu Kasir surat al-Fatihah, cetakan Dar al-Katab al-Ilmiyyah tahun 1429 H, hal 13]



d. Ummul Kitaab (induk kitab)

          Al-Fatihah juga memiliki nama Ummul Kitaab berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diatas yang diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

(('Alhamdulillaahirabbil 'alaamiin adalah Ummul Qur'an dan Ummul Kitaab dan tujuh yang terulang-ulang dan al-Qur'an yang mulia'))." [Tafsir Ibnu Kasir surat al-Fatihah, cetakan Dar al-Katab al-Ilmiyyah tahun 1429 H, hal 13]

         
e. Ash Shalah (shalat)

          Berkata Ibnu Katsir, "Dikatakan pula al-Fatihah sebagai ash-Shalah berdasarkan ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari Rabb-nya : ((Aku membagi shalat antara aku dan antara hamba-Ku menjadi dua bagian. Apabila hamba itu berkata Alhamduillahirabbil 'aalamiin, Allah berfirman : 'Hamba-Ku memuji-Ku' )) (Al Hadits)." [Tafsir Ibnu Kasir surat al-Fatihah, cetakan Dar al-Katab al-Ilmiyyah tahun 1429 H, hal 13]

          Syaikh Shalih Fauzan mengatakan dan menjelaskan hadits ini :

"Al-Fatihah dinamakan ash-Shalah, berdasarkan ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkannya dari Rabb-nya, bahwasannya Allah Jalla wa 'Alaa berfirman :  (('Aku membagi shalat antara Aku dan antara hamba-Ku menjadi dua bagian')) Yaitu : Al-Fatihah ((Apabila dia (hamba) berkata : Alhamduillahirabbil 'aalamiin, Allah berfirman : 'Memuji-Ku hamba-Ku', apabila dia (hamba) berkata : Arrahmaanirrahiim, Allah berfirman : 'Menyanjung atas-Ku hamba-Ku', apabila dia (hamba) berkata : Maalikiyaumiddiin, Allah berfirman : 'Mengagungkan-Ku hamba-Ku', apabila dia (hamba) berkata : Iyyaa kana'budu wa iyyaa kanasta'iin, Allah berfirman : 'Ini antara Aku dan antara hamba-Ku dua pembagian dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta))." [Syarhu Ba'du Fawaaida Suuratil Faatihah, hal : 6]

          Sehingga makna Qasamtush Shalaati (aku membagi shalat), maknanya adalah aku membagi surat al-Fatihah menjadi dua bagian, karena itulah Syaikh Shalih Fauzan kembali mengatakan : "Surat al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat, 3.5 darinya untuk Allah, sanjungan atas Allah 'Azza wa Jalla, dan 3.5 darinya untuk hamba, (yaitu) mulai dari firman Allah : 'wa Iyyaa kanastaiin' hingga akhir surat." [Syarhu Ba'du Fawaaida Suuratil Faatihah, hal : 6]

"Inilah makna firman Allah Jalla wa 'Allaa : ((Qasamtush Shalati)) yaitu surat al-Fatihah...". [Syarhu Ba'du Fawaaida Suuratil Faatihah, hal : 7]


f. Al-Kaafiyatu (jampi-jampi) atau dinamakan juga Ar-Ruqyatu (rukiyah)

          Al-Fatihah juga dinamakan Ruqyah. Dalam sebuah hadits yang panjang disebutkan : Dinamakan al-Fatihah dengan ruqyah karena, sekelompok dari para sahabat yang singgah pada sebuah kabilah dari kabilah-kabilah arab. Mereka meminta dilayani maka justru mereka tidak dilayani, maka disengatlah pembesar mereka, maka mereka datang dan mereka meminta dari para sahabat yang meruqyah. Berkata salah seorang dari sahabat : Sesungguhnya kami akan meruqyah akan tetapi kalian enggan dari melayani kami. Maka tidaklah kami meruqyah kecuali dengan memberikan -yakni : upah- maka mereka mempersyaratkan bagi mereka sekawanan kambing maka dibacakan kepadanya surat al-Fatihah, maka dia berdiri seakan-akan dibangkitkan dari ikatan. Maka tatkala mereka menghadap kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mereka mengabarkan dengan apa-apa yang terjadi, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Dan dari mana kamu mengetahui bahwasannya al-Fatihah itu ruqyah." maka dinamakanlah al-Fatihah dengan ruqyah. [Syarhu Ba'du Fawaaida Suuratil Faatihah, hal : 7]


g. Al-Qur'an al-Adziim (al Qur'an yang mulia)

          Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

(('Alhamdulillaahirabbil 'alaamiin adalah Ummul Qur'an dan Ummul Kitaab dan tujuh yang terulang-ulang dan al Qur'an yang mulia'))." [Tafsir Ibnu Kasir surat al-Fatihah, cetakan Dar al-Katab al-Ilmiyyah tahun 1429 H, hal 13]


h. Al-Hamdu (pujian)

          Nama al-Hamdu ini disebutkan oleh ibnu katsir, "Dan dikatakan bagi al-Fatihah itu (al-Hamdu) dan dikatakan juga baginya (ash-Shalah)." [Tafsir Ibnu Kasir surat al-Fatihah, cetakan Dar al-Katab al-Ilmiyyah tahun 1429 H, hal 13]

Setelah itu beliau menyebutkan hadits kudsi diatas.


i. Asy Syifaa' (penyembuh)

          Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya, "Dikatakan bagi al-Fatihah sebagai Asy-Syifaa' tatkala Ad-Daarimi  meriwayatkan  dari Abu Sa'id radhiyallaahu 'anhu secara marfu' ((yang membuka al-Kitaab adalah yang menyembuhkan dari setiap nama))". [Tafsir Ibnu Kasir surat al-Fatihah, cetakan Dar al-Katab al-Ilmiyyah tahun 1429 H, hal 13]


j. Asaasul Qur'aan

          Asy-Sya'bi meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhuma bahwasannya dia (Ibnu Abbas) menamakan al-Fatihah dengan (Asaasul Qur'an) dia berkata : "Dan asasnya adalah bismillahirrahmaanirrahiim." [2]


k. Al Waaqiah (yang menjaga)

          Ibnu Katsir mengatakan, "Sufyaan bin Uyainah menamakan al-Fatihah (dengan Al-Waaqiah)." [Tafsir Ibnu Kasir surat al-Fatihah, cetakan Dar al-Katab al-Ilmiyyah tahun 1429 H, hal 13]


Wallahu a'lam

©2004



BEBERAPA NAMA SURAT AL-FATIHAH

Penulis : Abu 'Aisyah (Erwin Gunawan)


            Surat al-Fatihah adalah surat yang sangat agung. Dalam surat al-Fatihah terkandung 3 jenis tauhid, Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa sifat.

            Surat al-Fatihah juga memiliki banyak nama. Nama-nama surat al-Fatihah antara lain : [1], [2].

a. Al-Fatihah
b. Ats-Tsaba'ul Matsaani (tujuh ayat yang terulang-ulang)
c. Ummul Qur'an (induk al-Qur'an)
d. Ummul Kitaab (induk Kitab)
e. Ash-Shalah (shalat)
f. Al-Kaafiyatu (jampi-jampi) atau dinamakan juga Ar-Ruqyatu (Rukiyah)
g. Al-Qur'an al Adziim (al Qur'an yang mulia)
h. Al-Hamdu (pujian)
i. Asy-Syifaa' (penyembuh)
j. Asaasul Qur'aan (asas al Qur'an)
k. Al-Waaqiah (yang menjaga)

 Wallahu a'lam

©2004


_____________
[1] Ba'du Fawaaidi Suuratil Faatihah

[2] Faedah kajian tafsir Ust.Ahmad MZ.

ANTARA DAULAH ISLAMIYAH, JIHAD, DAN TAUHID


Agama islam adalah agama yang indah, agama yang sempurna, syariatnya telah lengkap dari segala sisinya, tidak tersisa suatu kebaikan pun kecuali telah datang penjelasannya, dan tidak ada suatu kejelekan pun kecuali telah datang peringatan atasnya. Agama islam adalah agama yang didalamnya Allah telah menetapkan syariat dan hukum-hukum yang kesemuanya adalah inti, tidak ada kulit dalam islam. Baik itu shalat, puasa, zakat, jihad, hukum rajam, tauhid (mengesakan Allah dalam rububiyyah, uluhiyyah, dan asma wa shifat) dan lain sebagainya.
Syariat-syariat itu memang harus dilaksanakan secara seksama jika memungkinkan, namun jika tidak, maka tidak semestinya ditinggalkan semuanya. Seumpama shalat, tetap wajib dilaksanakan dalam kondisi apapun, baik sehat maupun sakit bagi setiap orang yang telah mukallaf, demikian juga zakat (baik zakat fitrah maupun zakat harta), tetap wajib dikeluarkan zakatnya jika telah datang waktunya atau jika telah sampai nishab. Demikian juga puasa ramadhan wajib bagi setiap mukallaf untuk melaksanakannya kecuali ada udzur-udzur syar’i seperti sakit dan yang semisalnya.
Demikian juga tauhid, harus tetap ditegakkan pada setiap individu, baik yang muda maupun yang tua dan wajib juga mendakwahkannya, mengamalkannya bahkan dalam setiap desah nafas kita.
Demikian juga jihad, harus tetap dilaksanakan jika memang kondisinya adalah kondisi yang mengharuskan jihad seperti kaum muslimin diserang dan diperangi oleh kuffar. Dan ilmu tentang jihad ini memang perlu dipahami secara syar’i bagaimana hukum-hukumnya dan syarat-syaratnya, apakah jihad dilakukan sendiri-sendiri atau bersama ulil amri? Dalam kondisi jihad, apakah perlu bendera jihad atau tidak? Dan jihad itu apakah harus membunuh semua jenis orang kafir atau tidak? Apakah harus berhadapan secara langsung dengan musuh yang memerangi kita atau tidak? Dan masih banyak indikasi-indikasi jihad yang syar’i, dan itu semua butuh kepada ilmu.
Demikian juga hukum rajam, dia tetap harus dilaksanakan jika orang yang melakukan perbuatan zina tersebut memang benar-benar berzina dan ada empat orang saksi, atau ada indikasi lain yang memungkinkan diterapkannya hukum rajam seperti pengakuan langsung dari pelaku zina, atau indikasi lain seperti terjadinya kehamilan pada wanita terebut.[1]
Namun permasalahannya, apakah syariat hukum rajam bisa diterapkan sekarang ini? Jawabanya tentu saja tidak, kecuali jika telah terbentuk daulah islamiyah! Lalu apa yang mesti kita lakukan jika tidak ada daulah islamiyah? Kewajiban kita adalah bersabar dan bertaqwa semampu kita. 
“Artinya, Bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian”
(QS.At-Taghaabun : 16)

Untuk itu, maka wajib bagi kita menjemput sebab-sebab yang syar’i agar tegaknya daulah islamiyah. Dan di antara sebab-sebab itu adalah menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, berdakwah (amar ma’ruf nahi mungkar), dan bersabar.
Imam Bukhari mengatakan :
“Ilmu itu sebelum berkata dan berbuat.”[2]

 Ucapan ini bukan tanpa alasan, imam bukhari membawakan dalil firman Allah :
“Artinya, Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu…” (QS. Muhammad : 19)

Kata i’lam (ketahuilah) pada ayat diatas, adalah fi’il amr (kata kerja perintah untuk satu orang laki-laki). Artinya, yang Allah ajak bicara adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah untuk mengilmui, dan yang harus beliau ilmui yang pertama kali adalah LAA ILAAHA ILLALLAH. Ini menunjukkan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk mempelajari TAUHID. Dan tentunya, kita sebagai umatnya lebih wajib lagi untuk mempelajari tauhid ini, karena mempelajari tauhid pasti menjelaskan tentang bahaya KESYIRIKAN, karena syirik adalah lawan dari tauhid dan merupakan dosa yang paling besar.


            Tapi sungguh sangat mengherankan dan sangat ajaib bila ada orang yang ingin menegakkan daulah islamiyah tapi anti dengan dakwah tauhid, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri orang yang paling pertama diperintahkan oleh Allah untuk mempelajari ilmu Tauhid tersebut, lalu bagaimana kita bisa mengesampingkan tauhid yang teramat penting ini? Jihad itu akan benar jika kita telah belajar tauhid, karena banyak orang yang berjihad tapi dalam jihadnya ia berbuat syirik yang nyata seperti menggunakan ilmu kebal supaya tidak tembus peluru dll.  
Bukankah Rasulullah terluka saat perang uhud? Lalu mana ilmu kebal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal beliau-lah orang yang seharusnya lebih butuh kepada ilmu kebal itu dibandingkan kita, karena beliau berperang setiap waktu, sedangkan kita hanya diam-diam saja dirumah. Ini realita, belum lagi masyarakat kita yang penuh dengan ritual kesyirikan setiap waktu dan setiap saat, baik dalam keadan sempit maupun lapang. Lalu mana mungkin akan tegak syariat islam, mana mungkin akan tegak daulah islamiyah jika rakyat kita masih bergelimang dalam kubangan kesyirikan? Ini sangat ironis.
Mungkin ada yang akan berkata, “Ah.. itu gampang! Jika nanti kami menang dalam pemilihan dan kami memegang tampuk kekuasaan, itu bisa dirubah dengan membuat aturan-aturan yang melarang mereka berbuat syirik! Kan sudah tegak daulah islamiyah, tentu akan mudah mengendalikan mereka!”
Atau mungkin ada sebagian lagi yang berkata, “Yang penting daulah islamiyah tegak dulu, urusan syirik menyirik itu gampang..! Kalau sudah ada daulah, tentu mereka akan terikat oleh hukum yang berlaku.”
Na’am, jika seperti itu alasanya, maka ketahuilah. Sebelum kita sungguh telah ada seorang pemimpin yang adil yaitu raja Najasy. Dia bahkan orang yang lebih baik dari kita, karena dia beriman kepada Nabi saat Nabi masih hidup dan dia menjadi seorang muslim sejati ditengah-tengah kaumnya. Dia adalah raja diraja, dia juga memiliki kekuasaan, dan dia juga memiliki daulah. Namun apakah dia sanggup merubah rakyatnya?
Sejarah membuktikan bahwa Najasy tidak bisa merubah rakyatnya padahal dia adalah raja, dia memiliki daulah.[3] Dan ketika ia meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang men-shalat-kannya dengan shalat gaib. Ini menunjukkan bahwa, tidak seorangpun yang menshalatkan jenazah raja Najasy di negerinya, karena rakyatnya tidak ada yang beriman kepada Allah.
            Maka merubah rakyat itu tidak semudah yang dibayangkan. Jika ingin merubah mereka, maka dakwahkan kepada mereka dakwah tauhid, karena dakwah tauhid adalah dakwah yang harus di utamakan, karena ini adalah awal dakwah para Nabi seluruhnya.

Allah berfirman :
“Artinya, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (seorang) Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) :  “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. AN-Nahl :36)

Dari ayat diatas bahwa bagi tiap-tiap umat, Allah utus seorang Rasul, yang dakwah mereka adalah, Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” Ini adalah makna kalimat syahadat.

Allah juga berfirman :
“Artinya, Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : “Bahwasannya tidak ada tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian Aku.” (QS. Al-Anbiyaa’ : 25)

Dapat diambil faedah dari ayat diatas bahwa, semua Rasul sebelum Nabi Muhammad dakwahnya adalah diatas Tauhid. Karena kalimat (Rasuulun, lihat teks arab ayat diatas pada al-qur’an) adalah nakirah (tidak tertentu), sebelumnya didahului oleh Huruf (Maa, lihat juga teks arab ayat diatas pada al-qur’an) yang bermakna Nafiy, maka dalam kaidah ushul fikih bahwa kalimat nakirah (tidak tertentu) dalam konteks negatif atau dalam konteks Nafiy, akan memberikan makna yang umum yang berarti, mencakup semua Rasul yang pernah ada.[4]  
Dan demikianlah para Nabi, mereka memulai dakwahnya dengan seutama-utama dakwah yaitu tauhid. Dan tidak pernah ditemukan para Nabi memulai dakwah mereka dengan jihad, tidak pernah pula memulai dakwahnya dengan khilafah, tidak pernah pula memulainya dengan politik dan partai, baik yang bernuansa islami maupun tidak, karena dakwah yang tidak dimulai dengan dasar ilmu dan tauhid, maka dakwah itu laksana fatamorgana ditengah gurun pasir yang gersang yang dilihat oleh musafir yang hampir mati kehausan.
Kita tidak menafikan jihad karena memang jihad adalah penting, kita juga tidak menafikan daulah islamiyah dan pentingnya kekhalifahan, karena itu juga merupakan impian setiap muslim. Namun yang paling penting dari yang penting diatas, yaitu kita haarus mendakwahkan tauhid, karena tauhid adalah tujuan utama dakwah. Tauhid-lah yang dapat mempersatukan umat, tauhid-lah yang dapat memperbaiki masyarakat.
Kita harus merubah masyarakat dari dasar bukan dari atas yaitu setelah terbentuknya khilafah. Apapun bentuknya, dengan nama apapun atau atas dasar kaidah manapun seperti kaidah “Kebenaran yang tidak terorganisir, akan kalah oleh kejahatan yang terorganisir.” Sehingga dari kaidah ini maka muncul-lah ide, “Ayo kita bangun “kebenaran” yang terorganisir supaya dapat mengalahkan kejahatan yang terorganisir, atau dalam istilah bekennya adalah mari kita bangun partai islami” Allahul musta’an
Tetap jika ingin memulai dakwah, harus dengan tauhid. Pernyataan ini adalah pernyataan Allah sendiri seperti yang telah dijelaskan dengan gamblang diatas.
Saudaraku muslim yang mulia. Mungkin perlu dipertanyakan mengapa begitu gigihnya Rasulullah memulai dakwah tauhid ketika di mekkah selama 13 tahun dan berlanjut lagi ketika di madinah selama 10 tahun. Ada apa gerangan sehingga Beliau terus menerus menyerukan dakwah tauhid ini, bahkan sampai beliau mendapatkan cercaan dan makian, tuduhan gila, tuduhan sebagai penyihir, bahkan sampai terjadi kontak fisik dan pemukulan terhadap Nabi oleh kaumnya.
Jawabanya ada pada surat al-Muddatstsir. Disebutkan oleh syaikh at-Tamimi dengan terjemahan bebasnya bahwa, “Beliau diutus oleh Allah untuk memperingatkan dari syirik dan menyeru kepada tauhid.”[5] Dalilnya adalah firman Allah :                                    
Artinya, Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah”.
(Al-Mudatstsir : 1-7)
Makna Qum fa Andzir (Bangunlah, lalu berilah peringatan) yaitu : memperingatkan dari            kesyirikan dan menyeru kepada tauhid. [5]

Makna wa Rabbaka Fakabbir (Tuhanmu agungkanlah) yaitu : agungkan dengan tauhid.[5]

Makna wa Tsiyaabaka Fathahhir (Dan pakaianmu bersihkanlah) yaitu : Sucikanlah amal perbuatanmu dari kesyirikan.[5]

Makna war Rujza fahjur (Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah) yaitu : war Rujza = berhala-berhala dan fahjur =  meninggalkan berhala-berhala dan ahlinya (yaitu para penyembah berhala) dan berlepas diri dari berhala-berhala tersebut beserta ahlinya.[5]
Cukup dalil-dalil diatas sebagai hujjah bahwa dakwah itu harus dimulai dari tauhid, dari awal hingga akhir.

Sebagai penguat, perhatikan bagaimana kesamaan dakwah para Nabi yang Allah ‘Azza wa Jalla ceritakan dalam al-Qur’an tentang misi tauhid yang mereka emban. Allah berfirman tentang Nabi Nuh dan bagaimana dakwah beliau :

“Artinya, Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata : “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS. Al-A’raf : 59)

Allah juga berfirman tentang Nabi Hud :
“Artinya, Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud.
Ia berkata : “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Al-A’raf : 65)

Allah juga berfirman tentang kisah Nabi Shaleh :
“Artinya, Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh.
Ia berkata : “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain-Nya…” (QS. Al-A’raf : 73)

Allah juga berfirman tentang kisah Nabi Luth :
“Artinya, Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk mad-yan saudara mereka Syu’aib. Ia berkata : “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain-Nya…” (QS. Al-A’raf : 85)

Perhatikanlah wahai saudaraku, semua Nabi dakwahnya dakwah Tauhid, dan yang pertama kali diserukan oleh mereka adalah “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain-Nya. Dan ini tidak lain adalah tauhid, mengajak untuk menjauhi syirik, setelah itu baru memperingatkan kaumnya dari kemaksiatan-kasiatan lainnya. Ini dalil yang jelas.
Dari itu, mari kita meraih daulah islamiyah dengan ilmu, yaitu kita perbaiki individu-individu masing-masing dengan mendakwahkan ilmu, dan ajak mereka untuk mau menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, menndakwahkan tauhid dan menjauhi syirik baru kemudian dengan sendirinya akan terbentuk daulah islamiyah sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah dan para khalifah-khalifah Rasulullah yang lurus setelah Beliau. Sebagai penutup, sangat indah ucapan ini :
 “Tegakkanlah negara Islam di dalam hatimu, niscaya
 akan tegak Islam di negaramu.”[6]

Wallahu a’lam.
©2014

[1] Faedah kajian kitab al-Ushul min Ilmil Ushul bersama Ustadz Abu Mushlih.
[2] Majmu’u Mutuunil Aqiidati wat-Tauhiidi, Bab al-Ushuulu as-Tsalaatsatu, hal : 3
[3] Faedah kajian kitab Sittu Durar bersama Ustadz Abu Mushlih.
[4] Faedah kajian kitab Minhaajul Firqatin Naajiyah dan kitab al-Ushul min ‘Ilmil Ushul bersama Ust.Abu Mushlih.
[5] Majmu’u Mutuunil Aqiidati wat-Tauhiidi, Bab al-Ushuulu as-Tsalaatsatu, hal :11

[6] Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, hal : 575.  Penerbit : Pustaka Imam Syafi’i.

©2004